DAFTAR
ISI
Halaman
judul........................................................................................................................
Kata
pengantar....................................................................................................................... i
Daftar
isi................................................................................................................................ ii
BAB I
PENDAHULUAN.................................................................................................... 1
1.1 Latar
belakang........................................................................................................... 1
1.2 Rumusan
masalah...................................................................................................... 1
1.3 Tujuan
penulisan ....................................................................................................... 1
BAB II
PEMBAHASAN..................................................................................................... 3
2.1 Konsep Penyakit
Kusta............................................................................................. 3
2.2 Epidemiologi
Penyakit Kusta.................................................................................... 3
2.3 Patofisiologi............................................................................................................... 4
2.4 Manifestasi Klinik...................................................................................................... 6
2.5 Tes Diagnostik........................................................................................................... 8
2.6 Pencegahan Penyakit
Kusta....................................................................................... 9
2.7 Terapi Medik.............................................................................................................. 11
BAB III ASUHAN
KEPERAWATAN............................................................................... 12
3.1 Pengkajian.................................................................................................................. 12
3.2 Diagnosa.................................................................................................................... 14
3.3 Intervensi................................................................................................................... 14
3.4 Implementasi.............................................................................................................. 17
3.5 Evaluasi...................................................................................................................... 17
BAB IV PENUTUP.............................................................................................................. 18
4.1 Kesimpulan................................................................................................................ 18
4.2 Saran.......................................................................................................................... 18
DAFTAR
PUSTAKA........................................................................................................... 20
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Konon penyakit kusta telah menyerang manusia sejak
300 SM dan telah dikenal oleh peradaban Tiongkok kuno, Mesir
kuno, dan India pada 1995 organisasi kesehatan dunia (WHO)
memperkirakan terdapat dua atau tiga juta jiwa yang cacat permanen karena
kusta.
Walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan
masyarakat dirasakan kurang perlu dan tidak etis beberapa kelompok penderita masih dapat ditemukan dibelahan dunia ,seperti India,dan Vietnam.
Pengobatan yang efektif pada kusta ditemukan pada akhir
1940-an dengan diperkenalkanya dapson dan
derivatnya. Bagaimanapun juga bakteri penyebab lepra sertahap menjadi
kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar, hal ini terjadi hingga
ditemukan pengobatan multi obat pada awal 1980an dan penyakit inipun mampu
ditangani kembali.
Maka
dari itu, penulis membuat makalah yang berjudul “Penyakit Kusta (Morbus Hansen)
dan Asuhan Keperawatannya” dimaksudkan agar kita selaku tenaga kesehatan
mengetahui apa itu penyakit kusta, penularan, bagaimana pencegahannya dan
asuhan keperawatannya.
1.2 Rumusan
Masalah
a.
Definisi Kusta?
b.
Bagaimana
klasifikasi pada penyakit kusta?
c.
Bagaimana etiologi
kusta?
d.
Bagaimana patofisiologi
kusta?
e.
Bagaimana
manifestasi klinis kusta?
f.
Bagaimana konsep
pencegahan penyakit kusta?
g.
Asuhan keperawatan
pada pasien kusta?
1.3 Tujuan Penulisan
Makalah ini dibuat dengan tujuan sebagai berikut :
a. Untuk
menjelaskan definisi kusta.
b. Untuk menjelasakan klasifikasi kusta.
c. Untuk
menjelasakan etiologi kusta.
d. Untuk menjelasakan patofisiologi
kusta.
e. Untuk
menjelasakan manifestasi klinis kusta.
f. Untuk
menjelaskan konsep pencegahan kusta.
g. Untuk
menjelasakan asuhan keperawatan pada
klien kusta.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep
Penyakit Kusta
Definisi
Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh
kuman kusta (mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan
jaringan tubuh lainnya. (Depkes RI, 1998)
Kusta merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh
infeksi mikobakterium leprae. (Mansjoer Arif, 2000)
Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang di sebabkan
oleh mycobacterium lepra yang interseluler obligat, yang pertama menyerang
saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas
bagian atas, sistem endotelial, mata, otot, tulang, dan testis ( djuanda,
4.1997 )
Kusta adalah penykit menular pada umunya mempengaruhi kulit
dan saraf perifer, tetapi mempunyai cakupan manifestasi klinis yang luas ( COC,
2003)
Etiologi
Mikobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA)
bersifat obligat intraseluler, menyerang saraf perifer, kulit dan organ lain
seperti mukosa saluran nafas bagian atas, hati, sumsum tulang kecuali susunan
saraf pusat. Masa membelah diri mikobakterium leprae 12-21 hari dan masa
tunasnya antara 40 hari-40 tahun. Kuman kusta berbentuk batang dengan ukuran
panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang
disebar satu-satu, hidup dalam sel dan BTA.
2.2 Epidemiologi
Penyakit Kusta
Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih
merupakan tanda tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh
si penderita, yakni selaput lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa
penularan penyakit kusta adalah:
a. Melalui sekret hidung, basil
yang berasal dari sekret hidung penderita yang sudah mengering, diluar masih
dapat hidup 2–7 x 24 jam.
b. Kontak kulit dengan kulit.
Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun, keduanya harus ada lesi
baik mikroskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak yang lama
dan berulang-ulang.
Klinis ternyata kontak lama dan berulang-ulang ini
bukanlah merupakan faktor yang penting.
Banyak hal-hal yang tidak dapat di terangkan mengenai penularan ini sesuai
dengan hukum-hukum penularan seperti halnya penyakit-penyakit terinfeksi lainnya.
Menurut Cocrane (1959), terlalu sedikit orang yang
tertular penyakit kusta secara kontak kulit dengan kasus-kasus lepra terbuka.
Menurut Ress (1975) dapat ditarik kesimpulan bahwa
penularan dan perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni
jumlah atau keganasan Mycrobacterium
Leprae dan daya tahan tubuh penderita. Disamping itu faktor-faktor yang
berperan dalam penularan ini adalah :
- Usia : Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa
-
Jenis kelamin : Laki-laki lebih banyak dijangkiti
- Ras : Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti
2.3 Patofisiologi
Setelah mikobakterium leprae masuk kedalam tubuh,
perkembangan penyakit kusta bergantung
pada kerentanan seseorang. Respon setelah masa tunas dilampaui tergantung pada
derajat sistem imunitas seluler (celuler midialet immune) pasien. Kalau sistem
imunitas seluler tinggi, penyakit berkembang kearah tuberkoloid dan bila rendah
berkembang kearah lepromatosa. Mikobakterium leprae berpredileksi didaerah-daerah
yang relatif dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit.
Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena imun pada
tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi
seluler dari pada intensitas infeksi oleh karena itu penyakit kusta disebut
penyakit imonologik.
Pathway
2.4
Manifestasi Klinis
Menurut WHO (1995) diagnosa kusta ditegakkan bila
terdapat satu dari tanda kardinal berikut:
1) Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas. Lesi kulit dapat tunggal atau multipel biasanya
hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga
biasanya berupa: makula, papul, nodul. Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit
merupakan gambaran khas. Nyeri, Kerusakan
saraf terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit
dan kelemahan otot.
2) BTA positif, Pada beberapa kasus ditemukan BTA dikerokan
jaringan kulit. Penebalan
saraf tepi, nyeri tekan, parastesi.
Klasifikasi
No.
|
Kelainan
kulit & hasil pemeriksaan
|
Pause
Basiler
|
Multiple
Basiler
|
1.
|
Bercak
(makula)
jumlah
ukuran
distribusi
konsistensi
batas
kehilangan rasa pada bercak
kehilangan berkemampuan berkeringat,berbulu rontok pada
bercak
|
1-5
Kecil dan besar
Unilateral atau
bilateral asimetris
Kering dan kasar
Tegas
Selalu ada dan jelas
Bercak tidak berkeringat, ada bulu rontok pada bercak
|
Banyak
Kecil-kecil
Bilateral,
simetris
Halus, berkilat
Kurang tegas
Biasanya tidak jelas, jika ada terjadi pada yang sudah
lanjut
Bercak masih berkeringat, bulu tidak rontok
|
2.
|
Infiltrat
Kulit
membrana mukosa tersumbat perdarahan dihidung
|
Tidak ada
Tidak pernah ada
|
Ada,kadang-kadang
tidak ada
Ada,kadang-kadang tidak ada
|
3.
|
Ciri
hidung
|
”central
healing” penyembuhan ditengah
|
a.punched outlession
b. medarosis
c. ginecomastia
d. hidung pelana
e. suara sengau
|
4.
|
Nodulus
|
Tidak
ada
|
Kadang-kadang
ada
|
5.
|
Penebalan
saraf tepi
|
Lebih
sering terjadi dini, asimetris
|
Terjadi
pada yang lanjut biasanya lebih dari 1 dan simetris
|
6.
|
Deformitas
cacat
|
Biasanya
asimetris terjadi dini
|
Terjadi
pada stadium lanjut
|
7.
|
Apusan
|
BTA negatif
|
BTA
positif
|
Dibagi menjadi 2 :
Untuk para petugas kesehatan di lapangan, bentuk klinis
penyakit kusta cukup dibedakan atas dua jenis yaitu:
1. Kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid)
Merupakan bentuk yang tidak menular. Kelainan kulit berupa bercak keputihan sebesar uang logam
atau lebih, jumlahnya biasanya hanya beberapa, sering di pipi, punggung,
pantat, paha atau lengan. Bercak tampak kering, gejala kulit tak begitu
menonjol tetapi gangguan saraf lebih jelas.
Komplikasi saraf serta kecacatan relatif lebih sering
terjadi dan timbul lebih awal dari pada bentuk basah. Pemeriksaan
bakteriologis sering kali negatif, berarti tidak ditemukan adanya kuman
penyebab. Bentuk ini merupakan yang paling banyak didapatkan di
indonesia dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya terhadap kuman kusta
cukup tinggi.
2. Kusta bentuk basah (tipe lepromatosa)
Merupakan bentuk menular karena banyak kuman dapat
ditemukan baik di selaput lendir hidung, kulit maupun organ tubuh lain. Jumlahnya
lebih sedikit dibandingkan kusta bentuk kering dan terjadi pada orang yang daya
tahan tubuhnya rendah dalam menghadapi kuman kusta. Kelainan
kulit bisa berupa bercak kamerahan, bisa kecil-kecil dan tersebar diseluruh
badan ataupun sebagai penebalan kulit yang luas (infiltrat) yang tampak
mengkilap dan berminyak. Bila juga sebagai benjolan-benjolan merah sebesar biji
jagung pada badan, muka dan daun telinga. Sering
disertai rontoknya alis mata, menebalnya cuping telinga dan kadang-kadang
terjadi hidung pelana karena rusaknya tulang rawan hidung. Kecacatan
pada bentuk ini umumnya terjadi pada fase lanjut dari perjalanan penyakit. Pada
bentuk yang parah bisa terjadi ”muka singa” (facies leonina).
Diantara kedua bentuk klinis ini, didapatkan bentuk
pertengahan atau perbatasan (tipe borderline) yang gejala-gejalanya merupakan
peralihan antara keduanya. Bentuk ini dalam pengobatannya dimasukkan jenis
kusta basah.
2.5
Tes Diagnostik
1.
Pemeriksaan bakterioskopik (bakteri di laboratorium)
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan
untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat
dari kerokan kulit atau mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap
bakteri tahan asam, antara lain dengan Ziehl Neelsen. Pemeriksaan bakteri
negatif pada seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung
M. leprae.
Pertama-tama kita harus memilih
tempat-tempat di kulit yang diharapkan paling padat oleh bakteri, setelah
terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan diambil. Untuk pemeriksaan
rutin biasanya diambil dari minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga
bagian bawah dan 2-4 tempat lain yang paling aktif, berarti yang paling merah
di kulit dan infiltrative
2.
Pemeriksaan histopatologi (jaringan sel abnormal)
Diagnosis penyakit kusta biasanya dapat
dibuat berdasarkan pemeriksaan klinis secara teliti dan pemeriksaan
bakterioskopis. Pada sebagian kecil kasus bila diagnosis masih meragukan,
pemeriksaan histopatologis dapat membantu. Pemeriksaan ini sangat membantu
khususnya pada anak-anak bila pemeriksaan saraf sensoris sulit dilakukan, juga
pada lesi dini contohnya pada tipe indeterminate, serta untuk menentukan tipe
yang tepat.
3.
Pemeriksaan serologis
Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman M.
leprae mengakibatkan diagnosis serologis merupakan alternatif yang paling
diharapkan. Beberapa tes serologis yang banyak digunakan untuk mendiagnosis
kusta adalah :
·
tes FLA-ABS
·
tes ELISA
·
tes
MLPA untuk mengukur kadar antibodi Ig G yang telah terbentuk di dalam tubuh pasien, titer dapat ditentukan secara
kuantitatif dan kualitatif.
Pencegahan
Cacat Kusta
Prinsip
yang penting pada perawatan sendiri untuk pencegahan cacat kusta adalah :
·
pasien mengerti bahwa daerah yang mati
rasa merupakan tempat risiko terjadinya luka
·
pasien dapat melakukan perawatan kulit
(merendam, menggosok, melumasi) dan melatih sendi bila mulai kaku.
·
penyembuhan luka dapat dilakukan oleh
pasien sendiri dengan membersihkan luka, mengurangi tekanan pada luka dengan
cara istirahat.
2.6 Pencegahan Penyakit
Kusta
Pencegahan
primer
Pencegahan
primer dapat dilakukan dengan :
a.
Penyuluhan kesehatan
Pencegahan primer dilakukan pada kelompok orang sehat
yang belum terkena penyakit kusta dan memiliki resiko tertular karena berada
disekitar atau dekat dengan penderita seperti keluarga penderita dan tetangga
penderita, yaitu dengan memberikan penyuluhan tentang kusta. Penyuluhan yang
diberikan petugas kesehatan tentang penyakit kusta adalah proses peningkatan
pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat yang belum menderita sakit
sehingga dapat memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya dari
penyakit kusta. Sasaran penyuluhan penyakit kusta adalah keluarga penderita,
tetangga penderita dan masyarakat (Depkes RI, 2006)
b.
Pemberian imunisasi
Sampai saat ini belum ditemukan upaya
pencegahan primer penyakit kusta seperti pemberian imunisasi (Saisohar,1994).
Dari hasil penelitian di Malawi tahun 1996 didapatkan bahwa pemberian vaksinasi
BCG satu kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebesar 50%,
sedangkan pemberian dua kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta
sebanyak 80%, namun demikian penemuan ini belum menjadi kebijakan program di
Indonesia karena penelitian beberapa negara memberikan hasil berbeda pemberian
vaksinasi BCG tersebut (Depkes RI, 2006).
Pencegahan
sekunder
Pencegahan
sekunder dapat dilakukan dengan :
a. Pengobatan pada penderita kusta
Pengobatan pada penderita kusta untuk memutuskan mata
rantai penularan, menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat
atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan.
Pemberian Multi drug therapy pada penderita kusta terutama
pada tipe Multibaciler karena tipe tersebut merupakan sumber
kuman menularkan kepada orang lain (Depkes RI, 2006).
Pencegahan tersier
a. Pencegahan
cacat kusta
Pencegahan tersier dilakukan untuk pencegahan cacat kusta
pada penderita. Upaya pencegahan cacat terdiri atas (Depkes RI, 2006) :
·
Upaya pencegahan
cacat primer meliputi penemuan dini penderita sebelum cacat, pengobatan secara
teratur dan penangan reaksi untuk mencegah terjadinya kerusakan fungsi saraf.
·
Upaya pencegahan cacat sekunder meliputi perawatan diri
sendiri untuk mencegah luka dan perawatan mata, tangan, atau kaki yang sudah
mengalami gangguan fungsi saraf.
b. Rehabilitasi kusta
Rehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk memperoleh
fungsi penyesuaian diri secara maksimal atas usaha untuk mempersiapkan
penderita cacat secara fisik, mental, sosial dan kekaryaan untuk suatu
kehidupan yang penuh sesuai dengan kemampuan yang ada padanya. Tujuan
rehabilitasi adalah penyandang cacat secara umum dapat dikondisikan sehingga
memperoleh kesetaraan, kesempatan dan integrasi sosial dalam masyarakat yang
akhirnya mempunyai kualitas hidup yang lebih baik (Depkes RI, 2006).
Rehabilitasi terhadap penderita kusta meliputi :
·
Latihan
fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah terjadinya
kontraktur.
·
Bedah rekonstruksi
untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak mendapat tekanan yang
berlebihan.
·
Bedah
plastik untuk mengurangi perluasan infeksi.
·
Terapi
okupsi (kegiatan hidup sehari-hari) dilakukan bila gerakan normal terbatas pada
tangan.
·
Konseling
dilakukan untuk mengurangi depresi pada penderita cacat.
2.7 Terapi Medik
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah
penyembuhan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata
rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain
untuk menurunkan insiden penyakit. Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan
kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini
bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi
ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi
persistensi kuman kusta dalam jaringan.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 PENGKAJIAN
a. BIODATA
Umur memberikan petunjuk mengenai
dosis obat yang diberikan, anak-anak dan dewasa pemberian dosis obatnya
berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan tingkat sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan
lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari
golongan ekonomi lemah.
b. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Biasanya
klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya lesi dapat
tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang gangguan
keadaan umum penderita (demam ringan) dan adanya komplikasi pada organ tubuh
c. RIWAYAT KESEHATAN MASA LALU
Pada klien dengan morbus hansen
reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi lemah, kehamilan, malaria, stres,
sesudah mendapat imunisasi.
d. RIWAYAT KESEHATAN KELUARGA
Morbus hansen merupakan penyakit
menular yang menahun yang disebabkan oleh kuman kusta ( mikobakterium leprae)
yang masa inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga
yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.
e. RIWAYAT PSIKOSOSIAL
Klien yang menderita morbus
hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat akan beranggapan bahwa
penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan
menarik diri, sehingga klien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri karena
penurunan fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita.
f. POLA AKTIVITAS SEHARI-HARI
Aktifitas sehari-hari terganggu
karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan
pada orang lain dalam perawatan diri karena kondisinya yang tidak memungkinkan
g. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum klien biasanya dalam
keadaan demam karena reaksi berat pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II
morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf tepi motorik.Sistem
penglihatan. Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi
sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan,
dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada
infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi
peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan
pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok.Sistem
pernafasan. Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat
gangguan pada tenggorokan.
Sistem persarafan :
a) Kerusakan fungsi
sensorik, Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya
kurang/ mati rasa. Alibat kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat
terjadi luka, sedang pada kornea mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek
kedip.
b) Kerusakan fungsi
motorik Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama
ototnya mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki
menjadi bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur),
bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan
(lagophthalmos).
c) Kerusakan fungsi
otonom,Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar
minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal,
mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.
Sistem muskuloskeletal :
Adanya gangguan fungsi saraf tepi
motorik adanya kelemahan atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan
akan atropi.
Sistem integumen :
Terdapat kelainan berupa
hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem (kemerah-merahan), infiltrat
(penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi
gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah
sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut: sering didapati
kerontokan jika terdapat bercak.
3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan Integritas kulit yang berhubungan
dengan lesi dan proses inflamasi.
2. Gangguan rasa nyaman, nyeri yang
berhubungan dengan proses inflamasi jaringan .
3. Gangguan
konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan kehilangan
fungsi tubuh.
3.3 INTERVENSI
NO
|
DX
|
TUJUAN
|
INTERVENSI
|
|
PERENCANAAN
|
RASIONAL
|
|||
1
|
DX. 1
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, proses inflamasi berhenti dan
berangsur-angsur sembuh dalam waktu 7 x 24 jam.
Dengan Kriteria hasil :
·
Menunjukkan regenerasi jaringan
·
Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi
|
1.
Kaji TTV
2.
Kaji/ catat warna
lesi,perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi sekitar luka
3.
Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi
inflamasi
4.
Evaluasi warna lesi dan jaringan yang terjadi
inflamasi perhatikan adakah penyebaran pada jaringan sekitar
5.
Bersihkan lesi dengan sabun pada waktu direndam
6.
Istirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan
|
1. Untuk mengetahui tanda-tanda vital dan lakukan
tindakan selanjutnya
2.
Memberikan inflamasi dasar tentang terjadi proses
inflamasi dan atau mengenai sirkulasi daerah yang terdapat lesi.
3.
Menurunkan terjadinya penyebaran inflamasi pada
jaringan sekitar.
4. Mengevaluasi perkembangan lesi
dan inflamasi dan mengidentifikasi terjadinya komplikasi.
5.
Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan khusus untuk
mempertahankan kebersihan lesi.
6.
Tekanan pada lesi bisa maenghambat proses
penyembuhan
|
2
|
DX. 2
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses
inflamasi berhenti dan berangsur-angsur hilang dalam waktu 7 x24 jam.
Dengan Kriteria hasil:
·
Nyeri berangsur-angsur hilang
·
proses inflamasi berangsur-angsur hilang
|
1. Uaji TTV
2.
Observasi lokasi, intensitas dan
penjalaran nyeri
Ajarkan dan anjurkan melakukan
teknik distraksi dan relaksasi
3.
Atur posisi senyaman mungkin
4.
kolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai indikasi
|
1.
Untuk
mengetahui tanda tanda vital, dan lakukan tindakan selanjutnya
2.
Memberikan informasi untuk membantu dalam memberikan
intervensi.
3. Untuk mengetahui perkembangan
atau keadaan pasien
4. Dapat mengurangi rasa nyeri
5. Posisi yang nyaman dapat
menurunkan rasa nyeri
6.
Menghilangkan rasa nyeri
|
3
|
DX.3
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan tubuh dapat berfungsi
secara optimal dan konsep diri meningkat dalam waktu 7 x 24 jam.
Dengan Kriteria hasil:
·
Pasien menyatakan penerimaan situasi diri
·
Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga
diri negatif
|
1.
Kaji TTV
2.
Kaji makna perubahan pada pasien
3.
Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan
dan kemarahan. Perhatikan perilaku menarik diri.
4.
Berikan harapan dalam parameter situasi individu,
jangan memberikan kenyakinan yang salah
5.
Berikan penguatan positif
6.
Berikan kelompok pendukung untuk orang terdekat
|
1. Untuk mengetahui tanda-tanda vital dan lakukan
tindakan selanjutnya
2.
Episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba.
Ini memerlukan dukungan dalam perbaikan optimal
3.
Penerimaan perasaan sebagai respon normal terhadap
apa yang terjadi membantu perbaikan
4.
meningkatkan perilaku positif dan memberikan
kesempatan untuk menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan berdasarkan
realitas
5.
Kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya
perilaku positif
6.
Meningkatkan perasaan tenng dan memungkinkan respon
yang lebih membantu pasien
|
3.4 IMPLEMENTASI
Implementasi sesuai dengan Intervensi dan
lakukan tindakan selanjutnya.
3.5 EVALUASI
NO
|
DX
|
TANGGAL
|
EVALUASI
|
1
|
DX. 1
|
20/09/2018
08.00 WIT
|
S :
K’ mengatakan
O : K’ terlihat
A : Masalah t’atasi sepenuhnya
P :
Intervensi dan Implementasi dihentikan
|
2
|
DX. 2
|
20/09/2018
08.00 WIT
|
S :
K’ mengatakan Nyeri berkurang
O : K’ terlihat tidak gelisah
A : Masalah t’atasi sepenuhnya
P :
Intervensi dan Implementasi dihentikan
|
3
|
DX. 3
|
20/09/2018
08.00 WIT
|
S :
K’ mengatakan
O : K’ terlihat lebih percaya diri
A : Masalah t’atasi sebagian
P :
Intervensi dan Implementasi dilanjutkan
|
BAB
IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
a. Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman
micobakterium leprae.
b. Kusta dibagi dalam 2 bentuk,yaitu :
-kusta
bentuk kering (tipe tuberkuloid)
-kusta
bentuk basah (tipe lepromatosa)
c. Micobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA)
bersifat obligat intraseluller, menyerang saraf perifer, kulit dan
organ lain seperti mukosa saluran napas bagian
atas, hati, sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat.
d. Micobakterium leprae masuk kedalam tubuh
manusia, jika orang tersebut memiliki respon imunitas yang tinggi maka
kusta akan lebih mengarah pada tuberkuloid, namun jika respon imunitas dari
tubuh orang tersebut rendah maka kusta akan lebih mengarah pada lepromatosa.
e. Manifestasi klinik dari penderita kusta adalah adanya
lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas.
f. Penularan
penyakit kusta sampai saat ini hanya diketahui melalui pintu keluar kuman kusta
yaitu: melalui sekret hidung dan kontak langsung dengan kulit penderita. Selain
itu ada faktor-faktor lain yang berperan dalam penularan ini diantaranya: usia,
jenis kelamin, ras, kesadaran sosial dan lingkungan.
4.2 Saran
Untuk menanggulangi penyebaran penyakit kusta, hendaknya
pemerintah mengadakan suatu program
pemberantasan kusta yang
mempunyai tujuan sebagai penyembuhan
pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai
penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk
menurunkan insiden penyakit.
Hendaknya masyarakat yang tinggal didaerah yang endemi
akan kusta diberikan penyuluhan tentang, cara menghindari, mencegah, dan
mengetahui gejala dini pada kusta untuk mempermudah pengobatanya.
Karena di dunia kasus penderita kusta juga masih
tergolong tinggi maka perlu diadakanya penelitian tentang penanggulangan
penyakit kusta yang efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Graber,Mark A,1998,Buku Saku Kedokteran university
of IOWA,EGC,Jakarta
Mansjoer, Arif, 2000, Kapita
Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media Aeuscualpius, Jakarta.
Juall, Lynda,1999 Rencana Asuhan Keperawatan Dan Dokumentasi Keperawatan
Edisi II, EGC. Jakarta,Departemen Kesehatan
RI Dirjen P2M dan PLP, 1996, Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta,
Jakarta.
Harahap, M. 1997. Diagnosis and Treatment of Skin
Infection, Blackwell Science, Australia
Adhi, N. Dkk, 1997. Kusta, Diagnosis dan
Penatalaksanaan, FK UI, Jakarta