Sabtu, 15 Desember 2018

ASKEP KUSTA, PENGERTIAN , KLASIFIKASI, PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK


DAFTAR ISI
Halaman judul........................................................................................................................
Kata pengantar....................................................................................................................... i
Daftar isi................................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................... 1
1.1  Latar belakang........................................................................................................... 1
1.2  Rumusan masalah...................................................................................................... 1
1.3  Tujuan penulisan ....................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................... 3
2.1 Konsep Penyakit Kusta............................................................................................. 3
2.2 Epidemiologi Penyakit Kusta.................................................................................... 3
2.3 Patofisiologi............................................................................................................... 4
2.4 Manifestasi Klinik...................................................................................................... 6
2.5 Tes Diagnostik........................................................................................................... 8
2.6 Pencegahan Penyakit Kusta....................................................................................... 9
2.7 Terapi Medik.............................................................................................................. 11
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN............................................................................... 12
3.1 Pengkajian.................................................................................................................. 12
3.2 Diagnosa.................................................................................................................... 14
3.3 Intervensi................................................................................................................... 14
3.4 Implementasi.............................................................................................................. 17
3.5 Evaluasi...................................................................................................................... 17
BAB IV PENUTUP.............................................................................................................. 18
4.1 Kesimpulan................................................................................................................ 18
4.2 Saran.......................................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 20





BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Konon penyakit kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM dan telah dikenal oleh peradaban Tiongkok kuno, Mesir kuno, dan India pada 1995 organisasi kesehatan dunia (WHO) memperkirakan terdapat dua atau tiga juta jiwa yang cacat permanen karena kusta.
Walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat dirasakan kurang perlu dan tidak etis beberapa kelompok penderita masih dapat ditemukan dibelahan dunia ,seperti India,dan Vietnam.
Pengobatan yang efektif pada kusta ditemukan pada akhir 1940-an dengan diperkenalkanya dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga bakteri penyebab lepra sertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar, hal ini terjadi hingga ditemukan pengobatan multi obat pada awal 1980an dan penyakit inipun mampu ditangani kembali.
Maka dari itu, penulis membuat makalah yang berjudul “Penyakit Kusta (Morbus Hansen) dan Asuhan Keperawatannya” dimaksudkan agar kita selaku tenaga kesehatan mengetahui apa itu penyakit kusta, penularan, bagaimana pencegahannya dan asuhan keperawatannya.

1.2  Rumusan Masalah
a.       Definisi Kusta?
b.      Bagaimana klasifikasi pada penyakit kusta?
c.       Bagaimana etiologi kusta?
d.      Bagaimana patofisiologi kusta?
e.       Bagaimana manifestasi klinis kusta?
f.       Bagaimana konsep pencegahan penyakit kusta?
g.      Asuhan keperawatan pada pasien kusta?

1.3 Tujuan Penulisan
Makalah ini dibuat dengan tujuan sebagai berikut :
a.       Untuk menjelaskan definisi kusta.
b.      Untuk menjelasakan  klasifikasi kusta.
c.       Untuk menjelasakan etiologi kusta.
d.      Untuk menjelasakan patofisiologi kusta.
e.       Untuk menjelasakan  manifestasi klinis kusta.
f.       Untuk menjelaskan konsep pencegahan kusta.
g.      Untuk menjelasakan  asuhan keperawatan pada klien kusta.


























BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Konsep Penyakit Kusta
Definisi
Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya. (Depkes RI, 1998)
Kusta merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh infeksi mikobakterium leprae. (Mansjoer Arif, 2000)
Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang di sebabkan oleh mycobacterium lepra yang interseluler obligat, yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem endotelial, mata, otot, tulang, dan testis ( djuanda, 4.1997 )
Kusta adalah penykit menular pada umunya mempengaruhi kulit dan saraf perifer, tetapi mempunyai cakupan manifestasi klinis yang luas ( COC, 2003)

Etiologi
Mikobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat obligat intraseluler, menyerang saraf perifer, kulit dan organ lain seperti mukosa saluran nafas bagian atas, hati, sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah diri mikobakterium leprae 12-21 hari dan masa tunasnya antara 40 hari-40 tahun. Kuman kusta berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang disebar satu-satu, hidup dalam sel dan BTA.

2.2  Epidemiologi Penyakit Kusta
Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah:
a.    Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2–7 x 24 jam.
b.    Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun, keduanya harus ada lesi baik mikroskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak yang lama dan berulang-ulang.
Klinis ternyata kontak lama dan berulang-ulang ini bukanlah merupakan faktor yang penting. Banyak hal-hal yang tidak dapat di terangkan mengenai penularan ini sesuai dengan hukum-hukum penularan seperti halnya penyakit-penyakit terinfeksi lainnya.
Menurut Cocrane (1959), terlalu sedikit orang yang tertular penyakit kusta secara kontak kulit dengan kasus-kasus lepra terbuka.
Menurut Ress (1975) dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni jumlah atau keganasan Mycrobacterium Leprae dan daya tahan tubuh penderita. Disamping itu faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini adalah :
- Usia                                           : Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa
- Jenis kelamin                             : Laki-laki lebih banyak dijangkiti
- Ras                                            : Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti

2.3  Patofisiologi
Setelah mikobakterium leprae masuk kedalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respon setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas seluler (celuler midialet immune) pasien. Kalau sistem imunitas seluler tinggi, penyakit berkembang kearah tuberkoloid dan bila rendah berkembang kearah lepromatosa. Mikobakterium leprae berpredileksi didaerah-daerah yang relatif dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit. Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena imun pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler dari pada intensitas infeksi oleh karena itu penyakit kusta disebut penyakit imonologik.




Pathway

2.4 Manifestasi Klinis
Menurut WHO (1995) diagnosa kusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda kardinal berikut:
1)      Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas. Lesi kulit dapat tunggal atau multipel biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga biasanya berupa: makula, papul, nodul. Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Nyeri, Kerusakan saraf terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot. 
2)      BTA positifPada beberapa kasus ditemukan BTA dikerokan jaringan kulit. Penebalan saraf tepi, nyeri tekan, parastesi.
Klasifikasi
No.
Kelainan kulit & hasil pemeriksaan
Pause Basiler
Multiple Basiler
1.
Bercak (makula)
      jumlah
      ukuran
      distribusi

      konsistensi
      batas
      kehilangan rasa pada bercak


      kehilangan berkemampuan berkeringat,berbulu rontok pada bercak

      1-5
      Kecil dan besar
      Unilateral atau bilateral asimetris
      Kering dan kasar
      Tegas
      Selalu ada dan jelas



      Bercak tidak berkeringat, ada bulu rontok pada bercak

      Banyak
      Kecil-kecil
      Bilateral, simetris

      Halus, berkilat
      Kurang tegas
      Biasanya tidak jelas, jika ada terjadi pada yang sudah lanjut
      Bercak masih berkeringat, bulu tidak rontok
2.
Infiltrat
      Kulit

      membrana mukosa tersumbat perdarahan dihidung

      Tidak ada

      Tidak pernah ada

      Ada,kadang-kadang tidak ada
      Ada,kadang-kadang tidak ada
3.
Ciri hidung
”central healing” penyembuhan ditengah
a.punched outlession
b. medarosis
c. ginecomastia
d. hidung pelana
e. suara sengau
4.
Nodulus
Tidak ada
Kadang-kadang ada
5.
Penebalan saraf tepi
Lebih sering terjadi dini, asimetris
Terjadi pada yang lanjut biasanya lebih dari 1 dan simetris
6.
Deformitas cacat
Biasanya asimetris terjadi dini
Terjadi pada stadium lanjut
7.
Apusan
BTA negatif
BTA positif

Dibagi menjadi 2 :
Untuk para petugas kesehatan di lapangan, bentuk klinis penyakit kusta cukup dibedakan atas dua jenis yaitu:
1. Kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid)
Merupakan bentuk yang tidak menular. Kelainan kulit berupa bercak keputihan sebesar uang logam atau lebih, jumlahnya biasanya hanya beberapa, sering di pipi, punggung, pantat, paha atau lengan. Bercak tampak kering, gejala kulit tak begitu menonjol tetapi gangguan saraf lebih jelas.
Komplikasi saraf serta kecacatan relatif lebih sering terjadi dan timbul lebih awal dari pada bentuk basahPemeriksaan bakteriologis sering kali negatif, berarti tidak ditemukan adanya kuman penyebabBentuk ini merupakan yang paling banyak didapatkan di indonesia dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya terhadap kuman kusta cukup tinggi.



2. Kusta bentuk basah (tipe lepromatosa)
Merupakan bentuk menular karena banyak kuman dapat ditemukan baik di selaput lendir hidung, kulit maupun organ tubuh lainJumlahnya lebih sedikit dibandingkan kusta bentuk kering dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya rendah dalam menghadapi kuman kustaKelainan kulit bisa berupa bercak kamerahan, bisa kecil-kecil dan tersebar diseluruh badan ataupun sebagai penebalan kulit yang luas (infiltrat) yang tampak mengkilap dan berminyak. Bila juga sebagai benjolan-benjolan merah sebesar biji jagung pada badan, muka dan daun telingaSering disertai rontoknya alis mata, menebalnya cuping telinga dan kadang-kadang terjadi hidung pelana karena rusaknya tulang rawan hidungKecacatan pada bentuk ini umumnya terjadi pada fase lanjut dari perjalanan penyakitPada bentuk yang parah bisa terjadi ”muka singa” (facies leonina).

Diantara kedua bentuk klinis ini, didapatkan bentuk pertengahan atau perbatasan (tipe borderline) yang gejala-gejalanya merupakan peralihan antara keduanya. Bentuk ini dalam pengobatannya dimasukkan jenis kusta basah.

2.5 Tes Diagnostik  
1. Pemeriksaan bakterioskopik (bakteri di laboratorium)
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan kulit atau mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap bakteri tahan asam, antara lain dengan Ziehl Neelsen. Pemeriksaan bakteri negatif pada seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung M. leprae.
Pertama-tama kita harus memilih tempat-tempat di kulit yang diharapkan paling padat oleh bakteri, setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan diambil. Untuk pemeriksaan rutin biasanya diambil dari minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 tempat lain yang paling aktif, berarti yang paling merah di kulit dan infiltrative


2. Pemeriksaan histopatologi (jaringan sel abnormal)
Diagnosis penyakit kusta biasanya dapat dibuat berdasarkan pemeriksaan klinis secara teliti dan pemeriksaan bakterioskopis. Pada sebagian kecil kasus bila diagnosis masih meragukan, pemeriksaan histopatologis dapat membantu. Pemeriksaan ini sangat membantu khususnya pada anak-anak bila pemeriksaan saraf sensoris sulit dilakukan, juga pada lesi dini contohnya pada tipe indeterminate, serta untuk menentukan tipe yang tepat.
3. Pemeriksaan serologis
Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman M. leprae mengakibatkan diagnosis serologis merupakan alternatif yang paling diharapkan. Beberapa tes serologis yang banyak digunakan untuk mendiagnosis kusta adalah :
·          tes FLA-ABS
·          tes ELISA
·          tes MLPA untuk mengukur kadar antibodi Ig G yang telah terbentuk di dalam tubuh  pasien, titer dapat ditentukan secara kuantitatif dan kualitatif.
Pencegahan Cacat Kusta
Prinsip yang penting pada perawatan sendiri untuk pencegahan cacat kusta adalah :
·         pasien mengerti bahwa daerah yang mati rasa merupakan tempat risiko terjadinya luka
·         pasien dapat melakukan perawatan kulit (merendam, menggosok, melumasi) dan melatih sendi bila mulai kaku.
·         penyembuhan luka dapat dilakukan oleh pasien sendiri dengan membersihkan luka, mengurangi tekanan pada luka dengan cara istirahat.
2.6 Pencegahan Penyakit Kusta
       Pencegahan primer
          Pencegahan primer dapat dilakukan dengan :
          a. Penyuluhan kesehatan
Pencegahan primer dilakukan pada kelompok orang sehat yang belum terkena penyakit kusta dan memiliki resiko tertular karena berada disekitar atau dekat dengan penderita seperti keluarga penderita dan tetangga penderita, yaitu dengan memberikan penyuluhan tentang kusta. Penyuluhan yang diberikan petugas kesehatan tentang penyakit kusta adalah proses peningkatan pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat yang belum menderita sakit sehingga dapat memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya dari penyakit kusta. Sasaran penyuluhan penyakit kusta adalah keluarga penderita, tetangga penderita dan masyarakat (Depkes RI, 2006)
           b. Pemberian imunisasi
Sampai saat ini belum  ditemukan upaya pencegahan primer penyakit kusta seperti pemberian imunisasi (Saisohar,1994). Dari hasil penelitian di Malawi tahun 1996 didapatkan bahwa pemberian vaksinasi BCG satu kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebesar 50%, sedangkan pemberian dua kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebanyak 80%, namun demikian penemuan ini belum menjadi kebijakan program di Indonesia karena penelitian beberapa negara memberikan hasil berbeda  pemberian vaksinasi BCG tersebut (Depkes RI, 2006).

       Pencegahan sekunder 
           Pencegahan sekunder  dapat dilakukan dengan :
          a.    Pengobatan pada penderita kusta
Pengobatan pada penderita kusta untuk memutuskan mata rantai penularan, menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Pemberian Multi drug therapy pada penderita kusta terutama pada tipe Multibaciler karena tipe tersebut merupakan sumber kuman menularkan kepada orang lain (Depkes RI, 2006).

       Pencegahan tersier
          a.       Pencegahan cacat kusta
Pencegahan tersier dilakukan untuk pencegahan cacat kusta pada penderita. Upaya pencegahan cacat terdiri atas (Depkes RI, 2006) :
·         Upaya pencegahan cacat primer meliputi penemuan dini penderita sebelum cacat, pengobatan secara teratur dan penangan reaksi untuk mencegah terjadinya kerusakan fungsi saraf.
·          Upaya pencegahan cacat sekunder meliputi perawatan diri sendiri untuk mencegah luka dan perawatan mata, tangan, atau kaki yang sudah mengalami gangguan fungsi saraf.
           b.      Rehabilitasi kusta
Rehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk memperoleh fungsi penyesuaian diri secara maksimal atas usaha untuk mempersiapkan penderita cacat secara fisik, mental, sosial dan kekaryaan untuk suatu kehidupan yang penuh sesuai dengan kemampuan yang ada padanya. Tujuan rehabilitasi adalah penyandang cacat secara umum dapat dikondisikan sehingga memperoleh kesetaraan, kesempatan dan integrasi sosial dalam masyarakat yang akhirnya mempunyai kualitas hidup yang lebih baik (Depkes RI, 2006). Rehabilitasi terhadap penderita kusta meliputi :
·         Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah terjadinya kontraktur.
·         Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan.
·          Bedah plastik untuk mengurangi perluasan infeksi.
·          Terapi okupsi (kegiatan hidup sehari-hari) dilakukan bila gerakan normal terbatas pada tangan.
·         Konseling dilakukan untuk mengurangi depresi pada penderita cacat.

2.7  Terapi Medik
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit. Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1  PENGKAJIAN
a.      BIODATA
Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-anak dan dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan tingkat sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah.
b.      RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
 Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan adanya komplikasi pada organ tubuh

c.       RIWAYAT KESEHATAN MASA LALU
Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi.
d.      RIWAYAT KESEHATAN KELUARGA
Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan oleh kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.
e.       RIWAYAT PSIKOSOSIAL
Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita.



f.       POLA AKTIVITAS SEHARI-HARI
Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam perawatan diri karena kondisinya yang tidak memungkinkan
g.      PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf tepi motorik.Sistem penglihatan. Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok.Sistem pernafasan. Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat gangguan pada tenggorokan.
Sistem persarafan :
a)   Kerusakan fungsi sensorikKelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa. Alibat kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip.
b)   Kerusakan fungsi motorik Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).
c)   Kerusakan fungsi otonom,Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.

Sistem muskuloskeletal :
Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.
Sistem integumen :
Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut: sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.

3.2  DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.     Gangguan Integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi.
2.     Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan .
3.     Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan kehilangan fungsi tubuh.

3.3 INTERVENSI
NO
DX
TUJUAN
INTERVENSI
PERENCANAAN
RASIONAL
1
DX. 1
Setelah dilakukan tindakan keperawatan,  proses inflamasi berhenti dan berangsur-angsur sembuh dalam waktu 7 x 24 jam.
Dengan Kriteria hasil :    
·         Menunjukkan regenerasi jaringan
·         Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi

1.      Kaji TTV
2.    Kaji/ catat warna lesi,perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi sekitar luka
3.    Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi
4.    Evaluasi warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan adakah penyebaran pada jaringan sekitar
5.    Bersihkan lesi dengan sabun pada waktu direndam
6.    Istirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan

1.      Untuk mengetahui tanda-tanda vital dan lakukan tindakan selanjutnya
2.      Memberikan inflamasi dasar tentang terjadi proses inflamasi dan atau mengenai sirkulasi daerah yang terdapat lesi.
3.      Menurunkan terjadinya penyebaran inflamasi pada jaringan sekitar.

4.      Mengevaluasi perkembangan lesi dan inflamasi dan mengidentifikasi terjadinya komplikasi.
5.      Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan khusus untuk mempertahankan kebersihan lesi.
6.      Tekanan pada lesi bisa maenghambat proses penyembuhan

2
DX. 2
Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan berangsur-angsur hilang dalam waktu 7 x24 jam.
Dengan Kriteria hasil:
·         Nyeri berangsur-angsur hilang
·         proses inflamasi berangsur-angsur hilang


1.      Uaji TTV
2.    Observasi lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri
Ajarkan dan anjurkan melakukan teknik distraksi dan relaksasi
3.    Atur posisi senyaman mungkin
4.    kolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai indikasi

1.      Untuk mengetahui tanda tanda vital, dan lakukan tindakan selanjutnya
2.      Memberikan informasi untuk membantu dalam memberikan intervensi.
3.      Untuk mengetahui perkembangan atau keadaan pasien
4.      Dapat mengurangi rasa nyeri
5.      Posisi yang nyaman dapat menurunkan rasa nyeri
6.      Menghilangkan rasa nyeri
3
DX.3
Setelah dilakukan tindakan keperawatan tubuh dapat berfungsi secara optimal dan konsep diri meningkat dalam waktu 7 x 24 jam.
Dengan Kriteria hasil:     
·         Pasien menyatakan penerimaan situasi diri
·         Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negatif

1.    Kaji TTV
2.    Kaji makna perubahan pada pasien
3.    Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan dan kemarahan. Perhatikan perilaku menarik diri.
4.    Berikan harapan dalam parameter situasi individu, jangan memberikan kenyakinan yang salah
5.    Berikan penguatan positif
6.    Berikan kelompok pendukung untuk orang terdekat


1.      Untuk mengetahui tanda-tanda vital dan lakukan tindakan selanjutnya
2.      Episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba. Ini memerlukan dukungan dalam perbaikan optimal
3.      Penerimaan perasaan sebagai respon normal terhadap apa yang terjadi membantu perbaikan
4.      meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan untuk menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan berdasarkan realitas
5.      Kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya perilaku  positif
6.      Meningkatkan perasaan tenng dan memungkinkan respon yang lebih membantu pasien



3.4 IMPLEMENTASI
     Implementasi sesuai dengan Intervensi dan lakukan tindakan selanjutnya.
3.5 EVALUASI

NO
DX
TANGGAL
EVALUASI
1
DX. 1
20/09/2018
08.00 WIT
S  : K’ mengatakan
O : K’ terlihat
A : Masalah t’atasi sepenuhnya
P  : Intervensi dan Implementasi dihentikan

2
DX. 2
20/09/2018
08.00 WIT
S  : K’ mengatakan Nyeri berkurang
O : K’ terlihat tidak gelisah
A : Masalah t’atasi sepenuhnya
P  : Intervensi dan Implementasi dihentikan

3
DX. 3
20/09/2018
08.00 WIT
S  : K’ mengatakan
O : K’ terlihat lebih percaya diri
A : Masalah t’atasi sebagian
P  : Intervensi dan Implementasi dilanjutkan

















BAB IV
PENUTUP

4.1  Kesimpulan
a.       Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman micobakterium leprae.
b.      Kusta dibagi dalam 2 bentuk,yaitu :
-kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid)
-kusta bentuk basah (tipe lepromatosa)
c.       Micobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat obligat intraseluller, menyerang saraf perifer, kulit dan organ lain seperti mukosa saluran napas bagian atas, hati, sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat.
d.       Micobakterium leprae masuk kedalam tubuh manusia, jika orang tersebut memiliki respon imunitas yang tinggi maka kusta akan lebih mengarah pada tuberkuloid, namun jika respon imunitas dari tubuh orang tersebut rendah maka kusta akan lebih mengarah pada lepromatosa.
e.       Manifestasi klinik dari penderita kusta adalah adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas.
f.        Penularan penyakit kusta sampai saat ini hanya diketahui melalui pintu keluar kuman kusta yaitu: melalui sekret hidung dan kontak langsung dengan kulit penderita. Selain itu ada faktor-faktor lain yang berperan dalam penularan ini diantaranya: usia, jenis kelamin, ras, kesadaran sosial dan lingkungan.

4.2     Saran
         Untuk menanggulangi penyebaran penyakit kusta, hendaknya pemerintah mengadakan suatu program pemberantasan kusta yang mempunyai tujuan sebagai penyembuhan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit.
         Hendaknya masyarakat yang tinggal didaerah yang endemi akan kusta diberikan penyuluhan tentang, cara menghindari, mencegah, dan mengetahui gejala dini pada kusta untuk mempermudah pengobatanya.

         Karena di dunia kasus penderita kusta juga masih tergolong tinggi maka perlu diadakanya penelitian tentang penanggulangan penyakit kusta yang efektif.

























DAFTAR PUSTAKA

Graber,Mark A,1998,Buku Saku Kedokteran university of IOWA,EGC,Jakarta
Mansjoer, Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media Aeuscualpius, Jakarta.
Juall, Lynda,1999 Rencana Asuhan Keperawatan Dan Dokumentasi Keperawatan Edisi II, EGC. Jakarta,Departemen Kesehatan RI Dirjen P2M dan PLP, 1996, Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, Jakarta.
Harahap, M. 1997. Diagnosis and Treatment of Skin Infection, Blackwell Science, Australia
Adhi, N. Dkk, 1997. Kusta, Diagnosis dan Penatalaksanaan, FK UI, Jakarta


Ko Sa Pu Bahagia Lirik - Gleen Sebastian ft. Awind ft. Vavaveez

Lirik - Glen n Se bast ian ft. A wind ft. Va vaveez Ko Sa Pu Bah agia Bersama ko sa rasa bahagia Bersama tong ucap janji seti...